Sejarah Perkembangan Jemaat
Dikutip dari Buku “Sejarah Berdirinya Jemaat Amban – Gereja Kristen Injili di Tanah Papua” (Penulis: Bapak Simson Wihyawari) dan Buku “Menuju Gedung Petrus 2 GKI di Tanah Papua Jemaat Petrus Amban” (Penulis: Pnt. Jopie W. Pattiasina dan Pdt. Alberth Rumwaropen, S.Th, M.Mis)
I. Awal Injil Masuk di Manokwari (Tanah Papua)
Injil itu bukan dari manusia asalnya. Tuhan yang memulai. “… Ia memilih kita di dalam Kristus itu, sebelum dunia dijadikan (Efesus 1 : 4a)”. Segala sesuatu mulai dengan Kasih Allah. Firman Allah, yang menjadikan dunia, itulah Firman KasihNya. Firman itu memanggil manusia tetap hidup dalam persekutuan dengan Dia, melihat kasihNya, menerima anugerahNya, serta tetap mengaku dan memuliakan kasih Bapa itu. Dari awal, Firman Allah yang memanggil itulah INJIL. Tuhan menjadikan manusia dan pada waktu itu Injil Tuhan memanggil dia (manusia). Kalau kita tidak hidup dalam kasih Allah, kita tidak menjadi manusia yang sebenarnya. Itulah sumber kehidupan. “Di dalam terang kasihNya kita melihat segala sesuatu terang dan baik (Mazmur 36 : 10)”. Inilah sebuah prolog yang dikutip dari “Alasan yang hidup” ditulis oleh Ds. I.S. Kijne, untuk mengantarkan kita melihat bagaimana Injil Tuhan ini didaratkan dan diperdengarkan di pulau Mansinam, Tanah Papua, dan selanjutnya pekabaran Injil ke wilayah Amban.
Pada tahun 1855, tepatnya pada hari Minggu tanggal 5 Februari 1855, sebuah kapal layar “Ternate” melabuhkan sauhnya di Teluk Indah Dore. Di atas kapal tersebut terdapat dua orang pemuda asal Jerman yang sebenarnya adalah “Utusan-Tukang (bahasa asingnya : “Zendeling-werklieden”). Mereka berdua adalah orang yang berpengetahuan pertukangan kayu, sepatu, besi, dan juga pertanian. Mereka juga ingin menyebarkan Injil dengan hidup dari pencahariannya sendiri tanpa memperoleh tunjangan yang tetap. Di atas kapal layar ini, terjadi dialog antara para anak buah kapal dengan seorang kepala kampung di Mansinam yang fasih berbahasa Indonesia (bahasa Melayu saat itu). Kepala kampung tersebut adalah “Sawosapupi Rumsayor”.
Di dalam dialog itu, anak buah kapal mengatakan bahwa misi mereka ke pantai Mansinam adalah mengantarkan dua orang Zendeling kulit putih berkebangsaan Jerman dari Eropa untuk mengajar penduduk di sini. Hasil dialog tersebut selanjutnya disetujui oleh kepala kampung. Bersama kepala kampung, kedua pemuda tersebut menggunakan sekoci dan mendarat di pantai pasir putih pulau Mansinam. Keadaan saat itu sangat mencekam pada detik-detik pendaratan di pantai Mansinam. Rakyat di pulau Mansinam yang hirup-pikuk berlarian ke sana ke mari dapat ditenangkan oleh kepala kampung, para wanita dan anak-anak yang berlari berhamburan ke hutan-hutan tidak takut lagi. Para pemuda yang bersenjata perang, tombak dan panah serta senapan yang seidentik dengan serdadu kampung yang berjaga-jaga di pesisir pantai Mansinam dibalik pepohonan, tidak melontarkan anak panah dan melemparkan tombaknya. Rakyat kembali ke kampung dengan tenang sambil tertegun menyaksikan drama pendaratan itu detik demi detik.
Siapakah kedua pemuda berkulit putih ini. Mereka adalah CARLL WILLEM OTTOW dan JOHANN GOTTLOB GEISSLER. Saat sekoci mendarat di pantai pasir putih Mansinam, Ottow dan Geissler menapakkan kaki di atas pasir dan selanjutnya berlutut dan menatap langit biru serta berdoa : “Dengan Nama Tuhan, Kami Menginjak Tanah Ini”. Ini adalah awal pembaharuan peradaban semua orang yang mendiami Tanah Papua.

Pada waktu permulaan amat sukar karena mereka tidak mempunyai pencaharian yang tetap. Gambaran yang diperoleh pada waktu masih di Jerman, tidak sesuai dengan kenyataan dan kondisi yang mereka berdua jumpai.
Sebagai orang Eropa yang pertama hidup di Mansinam, berbagai kekurangan dan tantangan hidup harus mereka hadapi. Keadaan yang mereka alami ini justru tidak memadamkan semangat kerasulan yang berkobar-kobar, dan inilah yang menjadi kekuatan dan landasan kerja mereka berdua. Pekerjaan “Pekabaran Injil” oleh kedua “Rasul Tanah Papua” ini berjalan terus dari waktu ke waktu.
Pada tahun 1857 mereka berdua berpisah, Geissler tetap di Mansinam sedangkan Ottow memulai pekerjaan dengan membangun rumahnya dan melakukan pelayanannya di Kwawi. Pada tanggal 9 November 1862, Ottow meninggal dan dimakamkan di halaman rumahnya sendiri di Kwawi. Sedangkan Geissler meninggal tanggal 11 Juni 1870 di kampung halamannya di Jerman. Pekerjaan kedua Rasul Tanah Papua ini tidak terputus tetapi terus dilanjutkan oleh Penginjil-penginjil lain baik dari Belanda dan Jerman, maupun para penginjil
II. Guru Petrus Kafiar
Seorang penginjil pribumi Papua yang sangat terkenal adalah PETRUS KAFIAR. Sebelum menjadi penginjil, ia bernama NOSENI (nama kafir). Cerita tentang Noseni atau Petrus Kafiar ini dapat dibaca secara lengkap dalam buku yang berjudul :
“Guru Petrus Kafiar. Putera Irian Barat yang pertama menjadi pembawa suluh Kristus” yang dikarang oleh Pdt. F.J.S. Rumainum.
Noseni dibaptis tanggal 28 Oktober 1887 oleh Pdt. J.L. van Hasselt dalam suatu kebaktian di jemaat Kristen Mansinam, dengan nama baptis yaitu Petrus. Nama yang besar artinya bagi perkembangan Injil di Papua. Dia disekolahkan oleh van Hasselt, dan menjadi seorang yang sangat pandai baik membaca maupung berhitung. Dia membantu teman-temannya yang belum fasih membaca dan berhitung, di luar sekolah ia memberi pengajaran membaca kepada orang dewasa yang masih buta huruf. David Keiser dan isterinya (sebagai orang tua angkat Petrus) berkeinginan agar Petrus setelah menamatkan sekolahnya dapat membantu David dalam pekerjaan pertukangan. Manusia dapat merencanakan tetapi Tuhan yang berkehendak. Kehendak Tuhan berbeda dengan rencana dan keinginan David.
Petrus sendiri tidak menghendaki dirinya menjadi seorang yang bermata-pencaharian di bidang pertukangan. Ia merasa jika berada di Amberbaken (sesuai keinginan ayah angkatnya, David), tentunya peluang untuk melanjutkan pendidikan sudah tertutup (keinginan untuk sekolah sangat kuat).
Keinginan Petrus terwujud dengan disekolahkannya Petrus ke sekolah Melayu (Sekolah Gubernemen) di Ternate. Setahun belajar di Ternate, ia kembali ke Mansinam dan kemudian ke Amberbaken bukan membantu secara penuh penuh dalam bidang pembangunan dan pertanian, tetapi sebagai penginjil. Keinginan untuk tetap memperdalam Firman Allah dan menjadi seorang guru, tetap menggebu dalam hati dan pikiran Petrus. Keinginan tersebut oleh Tuhan, dan pada tanggal 3 April 1892 Petrus bersama seorang temannya yang bernama Timotius Awenda berangkat meninggalkan Mansinam menuju Betawi (Jakarta) untuk masuk sekolah guru di Seminari Depok. (Jawa Barat). Selama 4,5 tahun mereka berdua (Petrus dan Timotius) dilatih di Seminari Depok, dan memperoleh diploma serta dikukuhkan sebagai Guru. Pada tanggal 10 November 1896 mereka berdua tiba kembali di Mansinam
.Para pendeta berkumpul dan merundingkan bagaimana menggunakan kedua tenaga muda yang baru kembali dari Seminari Depok. Keputusannya, Timotius membantu mengajar di sekolah Mansinam, sedangkan Petrus ditempatkan di Arfu. Rencana penempatan Petrus di Arfu tidak dapat terlaksana karena, sesuai bambu sumpah yang dikirimkan orang Arfu bahwa pihak musuh akan membunuh Petrus jika ditempatkan di Arfu. Pdt. J.L. van Hasselt selanjutnya mengambil keputusan dan menempatkan Guru Petrus di AMBAN yang tidak seberapa jauh dari Mansinam. Wilayah Amban dihuni oleh orang Arfak.

III. Injil Tuhan Tiba di Pantai Amban
Pantai Amban tidak didiami oleh orang Arfak (mereka berkampung di pedalaman) tetapi menjadi tempat orang Arfak mencari ikan dan mengambil air laut. Mereka mengaku akan pindah ke pantai Amban jika daerah tersebut ditempatkan seorang Guru. Penatua Pilipus, Yonatan dan beberapa orang Kristen di Mansinam melakukan perundingan dengan orang Arfak dan menginformasikan bahwa keinginan mereka disetujui oleh Pdt. J.L. van Hasselt dan akan ditempatkan seorang guru yakni Guru Petrus. Berdasarkan kesepakatan bersama maka mereka setuju untuk turun ke pantai pada waktu yang telah ditetapkan.
Pada tanggal 11 Februari 1897, Pdt. J.L. van Hasselt, Guru Petrus dan diiringi oleh banyak perahu tiba di pantai Amban. Pada perahu tersebut juga terdapat David Keizer (ayah angkat guru Petrus) dan Korneles Wyzer. Walaupun ombak besar (karena waktu itu musim Barat), perahu-perahu itu tiba di pantai Amban dengan selamat, termasuk perahu yang ditumpangi Pdt. J.L. van Hasselt dan Guru Petrus. Setelah menginjakkan kaki di pantai, Pdt. J.L. van Hasselt dan Guru Petrus tidak melihat seorangpun dari orang Arfak yang berjanji akan turun ke pantai tersebut. Mereka menunggu dengan penuh kebimbangan dan keragu-raguan, namun kira-kira setengah jam kemudian muncullah Pilipus dan Yonatan bersama serombongan orang Arfak yang bersorak-sorak dan bergembira. Orang-orang Arfak ini membawa buah-buahan seperti pisang dan pepaya masak sebagai tanda persahabatan. Pemberian orang Arfak ini segera diterima oleh Pdt. J.L. van Hasselt dan Guru Petrus, dan membalasnya dengan memberikan garam, manik-manik dan tembakau. Kedua belah pihak mulai berunding, dan empat kepala keluarga sudah mengambil keputusan bahwa mereka akan membangun rumah mereka di pantai Amban jika Guru datang ke tempat itu. Mereka sepakat untuk memilih salah satu tempat dan membangun rumah mereka.
Hari sudah mulai gelap, mereka membuat api unggun dan semuanya duduk mengelilingi api unggun tersebut, dan mendengarkan ceritera-seritera Pdt. J.L. van Hasselt dan Guru Petrus tentang Injil Yesus Kristus. Pdt. J.L. van Hasselt menatap ke Timur dan menunjuk ke arah bulan purnama yang sedang naik dan bintang-bintang yang bertaburan di langit yang bersih. Siapakah yang menjadikan dan mengaturnya? Semua ini dijadikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Guru Petrus menambahkan bahwa dia datang bukan untuk mencari burung cenderawasih atau melakukan transaksi perdagangan, tetapi dia datang ke sini adalah untuk memberitahu kepada orang Arfak siapakah Allah yang menjadikan bulan dan bintang di langit itu. Allah yang menjadikan bulan dan bintang-bintang di langit ini, adalah Allah yang menjadikan manusia dan mengasihi segala bangsa di dunia ini, termasuk pula orang-orang Arfak. David Keizer dan Korneles Wyzer juga memberikan contoh-contoh yang menyadarkan orang Arfak tentang pentingnya kehadiran seorang Guru di antara mereka. Pilipus yang menjadi penginjil bagi orang Arfak bergembira dan bersyukur bahwa dengan kesaksian dari teman-teman sekerja di ladang Tuhan, maka bibit Injil yang telah ditaburkannya dapat tumbuh dan berkembang kelak. Ditambahkannya bahwa Guru Petrus akan tinggal tetap bersama orang Arfak di pantai Amban. Semuanya sepakat untuk menyiapkan rumah mereka (orang Arfak) termasuk pula menyiapkan rumah bagi Guru Petrus di tempat yang telah ditentukan.
Keesokan harinya, Pdt. J.L. van Hasselt kembali ke Manisinam melalui Pasir Putih Kwawi, sedangkan Guru Petrus beserta rombongan lainnya langsung menuju Mansinam.
IV. Jemaat Pertama di Pantai Amban
Sepulangnya Guru Petrus bersama rombongan ke Mansinam, orang Arfak mulai membangun rumah mereka dan rumah guru. Lokasi permukiman tersebut terletak kira-kira 150 – 200 meter dari titik pendaratan dan 100 – 150 meter dari muara kali Pami – Amban. Setelah rumah guru terselesaikan maka pada bulan Maret 1897, Guru Petrus datang ke pantai Amban dan menempati rumah yang telah disiapkan tersebut. Jemaat pertama terbentuk pada saat itu, dan Guru Petrus mulai mengabarkan Injil Kristus kepada orang Arfak di sekitarnya. Pantai Amban semakin ramai karena sebagian besar orang turun dari gunung dan lembah serta mendirikan rumah-rumah. Jemaat pun semakin maju pesat di bawah pimpinan dan pembinaan Guru Petrus.
Suatu ketika dalam jemaat tersebut terjangkit wabah penyakit kolera yang menyebabkan banyak anggota jemaat meninggal dunia*). Jemaat berunding dan sepakat untuk meninggalkan tempat yang ramai tersebut dan mengungsi ke tempat yang aman dari wabah kolera yakni di daerah hulu sungai Pami. Guru Petrus selaku pimpinan jemaat diikutsertakan dalam pengungsian tersebut dan menetap di sana. Namun sesuai kebiasaan orang Arfak yang hidup sebagai peladang berpindah, mereka membangun rumah di kebun yang sedang dikerjakannya. Akibatnya, beberapa waktu kemudian, kampung tersebut berpindah lagi semakin jauh ke pedalaman dan rumah guru juga dipindahkan. Guru Petrus ikut berpindah bersama mereka ke kampung yang baru di daerah pedalaman. Pemindahan kampung terjadi dua kali, dan dua kali juga Guru Petrus bersama dengan mereka. Guru Petrus tidak jemu mengikuti keinginan mereka, karena ia setia kepada panggilannya terhadap orang Arfak.
Pada tahun 1898, timbul penyakit cacar yang menyebabkan banyak orang meninggal dunia. Orang Arfak yang takut terhadap wabah cacar ini lari ke gunung dan meninggalkan Guru Petrus sendiri di kampung. Akibatnya Guru Petrus terpaksa harus kembali ke Mansinam dan mempertanggungjawabkan kejadian ini kepada Pdt. J.L. van Hasselt. Sungguh pekerjaan Guru Petrus di antara orang-orang Arfak tidaklah mudah, kesukaran menjadi pencobaan namun ia tetap tabah dan tahan menghadapinya. Ia yakin bahwa ia hanya disuruh untuk menabur benih-benih Injil Kristus, sedangkan yang menumbuhkan benih-benih itu adalah Allah sendiri.
Perjuangan Guru Petrus ini didukung dengan doa dan percaya bahwa benih Injil Kristus tidak akan mati meskipun lama terbenam dalam tanah, tetapi kelak pada waktu yang ditentukan Allah maka benih itu akan berkecambah dan bertumbuh serta menghasilkan buah. Doa dan percaya serta keyakinan ini terbukti dimana pada suatu ketika Guru Petrus berjalan melalui kampung tua (jemaat pertama didirikan) yang ditinggalkan, ia terkejut melihat pada sebatang pohon pada tumbuh di situ, terdapat suatu tulisan yang berbunyi : “MANSREN YESUS” artinya “TUHAN YESUS”. Hatinya sangat terhibur membaca tulisan tersebut karena meskipun kampung berpindah dan tidak ada seorangpun di tempat tersebut, tetapi Tuhan Yesus hadir di situ. Tulisan itu merupakan suatu tanda atau cap bagi bekas kampung itu.
Di kemudian hari baru diketahui bahwa yang menulis tersebut adalah seorang murid Guru Petrus yang bernama “Kawundeki” yang menulis pada batang pohon tersebut sebagai suatu pernyataan bahwa Injil Yesus yang ditaburkan bertahun-tahun itu sedang bertumbuh sebagai pohon meskipun tidak tampak. Kawundeki sendiri minta kepada Guru Petrus agar dibaptiskan oleh pendeta dan diberi nama pula “Petrus”. Guru Petrus Kafiar telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya pada tanggal 2 Agustus 1926 dan dimakamkan di Fanindi. Injil Kristus yang telah diberitakan bertahun-tahun lamanya di antara suku Arfak oleh Guru Petrus Kafiar tidak hilang tetapi tinggal di dalam hati setiap orang. Meskipun Injil tersebut tidak lekas bertumbuh tetapi pada waktu yang dikehendaki Tuhan maka Injil akan merambak lebih luas di antara suku Arfak. Inilah keyakinan dan doa kita. Sayangnya, pohon yang bertuliskan “Mansren Yesus” yang ditulis oleh Kawundeki (murid Guru Petrus) sekarang sudah tidak terlihat lagi karena pengaruh abrasi pantai sehingga tumbang terbawa air laut.
V. Upaya Membangun Jemaat Amban
Upaya membangun Jemaat Amban dimulai atas inisiatif para karyawan APM di Amban. APM (Agrarishe Proefstasion Manokwari) adalah unit kerja yang dibentuk oleh pemerintah Belanda melalui SAONNG (Sticting voor Agrarische Onderzoek van Nederlands Nieuw Guinea) pada awal tahun 1959. APM bertanggungjawab dalam kegiatan pengembangan dan penelitian tanaman umbi-umbian (ubijalar, ubikayu, talas dan keladi) dan tanaman industri (kopi, kakao, pala, vanili), serta komoditi pertanian lainnya.
Meningkatnya pekerjaan fisik para karyawan APM di lapangan ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan rohani setiap karyawan. Karena panggilan akan Injil Kristus, maka pada bulan Juli 1960 para karyawan terlatih menyampaikan keluhan dan rencana mereka kepada Bpk. Simson Wihyawari yang saat itu menjabat sebagai Asisten II Lapangan melalui juru bicaranya yakni Saudara Kostan Yoku.
Keluhan dan rencana mereka yakni :
- Selama lebih kurang 12 bulan (Juli 1959 – Juli 1960) tidak pernah ada pelayanan rohani bagi semua karyawan. Mereka setiap hari bekerja tanpa adanya sentuhan rohani dan kekuatan Iman bagi mereka.
- Jika hal ini terus berjalan tanpa adanya perhatian pelayanan rohani maka mereka berkeputusan mulai bulan September dan seterusnya akan berhenti sebagai karyawan APM dan kembali ke Hollandia (Jayapura).
Untuk mengantisipasi pengunduran diri para karyawan maka Bpk. Simson Wihyawari dengan beberapa teman karyawan (Sdr. Eliezer Kirihio, Sdr. Pontikus Rumbobiar, dan Sdr. Oscar Taime) berunding dan mencari jalan keluar apa yang harus dilakukan. Kami berempat sepakat untuk mengadakan ibadah rumah tangga yang pelaksanaannya dimulai pada bulan Oktober 1960. Ibadah rumah tangga ini dilaksanakan setiap hari Selasa dan hari Jumat pada jam 19.30 WIT, dan berlangsung di dua tempat secara bergantian yakni di rumah keluarga S. Wihyawari dan di barak lama Pami. Sebagai pelayan ibadah adalah karyawan APM sendiri masing-masing: Simson Wihyawari, Eliezer Kirihio, Ponitkus Rumbobiar. Oscar Taime, dan Silas Benny Puhiri. Rencana Tuhan itu Indah dan Tepat pada Waktunya. Ini terbukti dengan adanya ibadah rumah tangga telah menyentuh hati dan menguatkan Iman setiap umatNya termasuk karyawan APM.
Dengan terbentuknya persekutuan ibadah karyawan APM, selanjutnya timbul kerinduan mereka untuk bisa membangun rumah khusus sebagai tempat ibadah yang permanen dan membentuk suatu jemaat di Amban. Setelah melalui proses yang cukup panjang, dan melalui koordinasi dengan Pdt. G. Rumaropen dari pihak Klasis, maka dibangunlah rumah ibadah yang diberi nama “ELIM”, berukuran (12 x 8 m2), berdaya tampung 100 – 150 orang, yang dibangun diatas tanah PERPULUHAN yang diberikan oleh pemilik hak ulayat yakni Bapak BERNADUS MANDACAN. Bapak Bernadus Mandacan adalah orang Arfak, dan benarlah apa yang dikatakan Guru Petrus Kafiar terhadap kalimat yang ditulis seorang muridnya Kawundeki sebagai suatu pernyataan bahwa Injil Yesus yang ditaburkan bertahun-tahun itu sedang bertumbuh sebagai pohon meskipun tidak tampak. Karena perluasan Injil Kristus Yesus, maka Bapak Bernadus Mandacan memberikan perpuluhan dalam bentuk sebidang tanah untuk pembangunan Rumah Tuhan.
Pemberian nama “ELIM” ini untuk mengingatkan para karyawan APM dan HBM beserta keluarga, tentang masa lampau yang dianggap pahit dan dilewati oleh sebagai pendahulu, dengan menunjuk kepada Perjanjian Lama pada Keluaran 15 : 22 – 27. Semua karyawan dan keluarga menyetujui dan sepakat memberi nama Rumah Ibadah ini dengan ELIM.
Sesuai rencana dan janji Bapak Pdt. G. Rumaropen mewakili Klasis GKI, maka pada hari MINGGU tanggal 21 NOVEMBER 1961 semua karyawan dan keluarga di Amban bersyukur dan bersukacita, termasuk pula para malaikat di Surga, karena di-TAHBIS-kannya JEMAAT AMBAN dan diresmikannya RUMAH IBADAH “ELIM”. Klasis GKI Manokwari mentahbiskan jemaat Amban sebagai JEMAAT MUDA dan bangunan rumah ibadah diresmikan menjadi Rumah Ibadah Jemaat oleh Bapak Pdt. KAREL WENGGE.

Kegiatan pelayanan rohani saat itu tidak hanya terbatas pada persekutuan ibadah jemaat pada hari minggu pagi dan ibadah rumah tangga saja, tetapi juga dilakukan pelayanan Sakramen Pembaptisan Kudus, Sakramen Perjamuan Kudus, pelayanan Nikah Kudus dan pelayanan Peneguhan Sidi, serta pelayanan Diakonia. Selain pelayanan rohani, pekerjaan fisik terus dibenahi baik di dalam maupun di luar gedung gereja.
Kepemimpinan jemaat GKI Amban mengalami penggantian pada waktu yang ditentukan, dengan tetap menggunakan gedung Gereja Elim. Urutan pemimpin jemaat saat itu masing-masing :
- Guru Jemaat Lodewik Prawar
- Guru Jemaat Wolas Krey
- Guru Jemaat Dominggus Meosido
- Penatua Simson Wihyawari.
VI. Perkembangan Jemaat Amban
Gedung gereja Elim merupakan bukti sejarah awal berdirinya jemaat Amban. Namun dengan perkembangan waktu, jumlah anggota jemaat Amban semakin bertambah sehingga gedung gereja ini tidak mampu menampung anggota jemaat terutama pada ibadah hari Minggu. Atas dasar ini maka berkembang pemikiran untuk membangun sebuah gedung gereja baru yang berukuran lebih besar sehingga dapat menampung jemaat dalam kurun waktu 15 – 20 tahun.
Kuasa Tuhan nyata dalam hidup dan kehidupan jemaat Amban, dan semua rencana jemaat dihendaki Tuhan sebagai Kepala Gereja, sehingga pada tanggal 4 Oktober 1970 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan gedung gereja baru oleh Bupati Manokwari S.D. Kawab, dan peresmiannya dilakukan Bupati Manokwari A.S. Onim pada tanggal 24 November 1974, dengan nama “PETRUS”. Nama Petrus mempunyai dua pemahaman yakni : (1) sebagai salah satu murid dari 12 murid Tuhan Yesus dalam mengkabarkan Injil Kristus ke seluruh benua dan pelosok dunia ini, (2) sebagai guru dan pekabar Injil bagi masyarakat Arfak di wilayah Amban mulai pada tahun 1897 yakni Petrus Kafiar.
Dengan adanya gedung gereja yang baru, maka gedung gereja Elim berubah statusnya menjadi sekolah Taman Kanak-kanak YPK saat itu, tetapi setelah berdirinya gedung TK yang baru, bangunan tersebut dialih-fungsikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang inventaris gereja.

VII. Pembangunan & Pentahbisan Gedung Gereja Petrus II
Gedung gereja Petrus Amban telah berumur 42 tahun, walaupun secara fisik tampak masih dimungkinkan untuk digunakan. Namun ada pertimbangan lain untuk membangun gedung gereja yang baru. Pertimbangan diawali dengan akan menjadikan jemaat Petrus Amban sebagai pusat iman Kristiani di Tanah Papua sejalan dengan berkembangnya Universitas Papua dan Manokwari sebagai ibukota Provinsi Papua Barat. Berkembangnya Universitas Papua, bertambah pula anggota jemaat, walaupun tidak semua mahasiswa dan dosen serta pegawai adalah warga jemaat Petrus Amban. Selain itu pula berkembangnya perumahan-perumahan penduduk sekitar kampus Universitas Papua, menyebabkan bertambah pula warga jemaat Petrus Amban.
Pdt. Abraham Ungirwalu, S.Th. (saat itu sebagai Ketua Jemaat Petrus Amban) mempunyai gagasan :
- Agar lahan yang dimiliki jemaat dapat termanfaatkan secara optimal,
- Menyediakan tempat bagi warga jemaat khususnya mahasiswa dan anggota PAM (Persekutuan Anggota Muda) jemaat Petrus berkreasi dan beraktivitas untuk menambah pengetahuan ko-kurikuler demi masa depan mereka,
- Menjadikan jemaat Petrus Amban sebagai pembina jemaat-jemaat GKI di Tanah Papua,
- Menyediakan asrama bagi calon-calon mahasiswa yang datang dari luar Manokwari selama setahun untuk pengenalan dan penyesuaian diri,
Atas dasar ini maka muncul pemikiran membangun yang disebut Papua Christian Center (PCC). Pdt. A. Ungirwalu, S.Th. kemudian berbicara dengan bapak Ir Soleman Betawi, MT mengenai pemikiran ini. Beliau tertarik dan bersedia serta menyanggupi membuat rancang bangun PCC tersebut. Dalam denah terdapat bangunan-bangunan antara lain gedung gereja, perpustakaan, rumah reatret, percetakan Kristen, Taman Kanak-kanak, toko buku, radio swasta, kantor, klinik kesehatan, plaza, kafetaria, fasilitas olah raga dan berbagai fasilitas lainnya, dengan biaya yang sangat besar lebih kurang Rp 69 milyar.
Akhirnya diambil keputusan untuk membangun gedung gereja sebagai langkah awal dan sebagai pusat Iman Kristiani, dan PCC secara keseluruhan pada tahapan-tahapan berikutnya. Peletakkan batu pertama gedung gereja dilakukan oleh Pdt. Yomima Krey, S.Th (Wakil Ketua Sinode GKI di Tanah Papua) pada tanggal 25 Mei 2006 jam 10.30 WIT.
Panitia pembangunan dibentuk sejak tahun 2003 berdasarkan keputusan Majelis Jemaat Petrus Amban Nomor 70/A-5.a6/a23.6/VII/2003 yang diketuai oleh Bapak Ir Yan Pieter Karafir, M.Ec., dan mengalami beberapa kali perombakan personil kepanitiaan. Perombakan terakhir terjadi pada tahun 2014 dimana sebagai ketua adalah Ir Yakobus Harewan dan sekretaris John Marwa, S.Hut, MP dengan bendahara Els Pattiasina/Kesaulija, SP. Sebagai perencana pembangunan adalah PT….. (Henriko Tethool) dan kontaktor (pelaksana pembangunan) adalah Rocky Maleke yang kemudian diganti oleh Bapak Juffri Mandagi dan Bapak Robin Aribowo.
Pada tanggal 25 Mei 2016 dilakukan peresmian Gedung Gereja Petrus II, ditandai dengan pengguntingan pita oleh Gubernur Provinsi Papua Barat (diwakili Sekretaris Daerah Papua Barat), pembukaan selubung papan nama oleh Bapak Nataniel Mandacan, penandatanganan prasasti oleh Ketua BPAm Sinode GKI di Tanah Papua. Kunci gedung diserahkan Ketua Panitia Pembangunan kepada Ketua PHMJ Petrus Amban Pdt. Alberth Rumwaropen, S.Th, M.Mis, selanjutnya kepada Ketua Klasis Manokwari, dan kemudian kepada Ketua BPAm Sinode GKI di Tanah Papua, yang membuka pintu gedung gereja Petrus II. Ibadah pertama di gedung Petrus II dilayani oleh Bapak Pdt. Dr. Sostenes Sumihe, S.Th, M.Th.
